BERAU – Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Berau, Lita Handini, mengungkapkan pentingnya kemitraan antara koperasi petani dan perusahaan untuk menjaga stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di tingkat petani.
Ia berharap koperasi dapat menjalin kemitraan sesuai dengan regulasi pemerintah demi kesejahteraan petani.
“Memang ada beberapa keluhan dari petani terkait perbedaan harga antar pabrik. Namun, kami terus melakukan pembinaan agar petani mendapatkan harga yang wajar dan menguntungkan,” ungkapnya.
Salah satu kendala utama yang dihadapi petani sawit di Berau adalah keterbatasan jumlah pabrik pengolahan. Lita menjelaskan bahwa di wilayah pesisir seperti Biatan, Talisayan, dan Batu Putih masing-masing hanya memiliki satu pabrik. Padahal, jumlah petani dan produksi sawit rakyat di wilayah tersebut cukup besar, terutama di Biatan dan Tabalar.
“Kalau hanya satu pabrik, persaingan harga rendah. Beda dengan daerah seperti Segah dan Kelay yang punya lebih banyak pabrik, di sana terjadi perebutan TBS sehingga harga lebih kompetitif,” katanya.
Namun, ada harapan baru. Saat ini, tengah dibangun pabrik baru di wilayah Biatan yang sedang dalam proses perizinan. Lita menyambut positif pembangunan tersebut dan mendorong lebih banyak investor masuk ke Berau.
“Kami siap mendukung siapa pun yang ingin berinvestasi di sektor ini, asalkan mematuhi semua regulasi dan ketentuan yang ada,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar petani di Berau saat ini telah bermitra melalui pola plasma dan inti, yakni bentuk kemitraan di mana perusahaan wajib mengembangkan lahan plasma sebesar 20 persen.
Namun, untuk plasma mandiri jumlahnya masih minim. Di Kelay misalnya, baru ada dua kelompok yang telah membentuk kemitraan mandiri, sisanya masih dalam proses.
“Kami dorong koperasi untuk merangkul petani. Tapi memang persyaratan kemitraan cukup berat, seperti keharusan lahan clear and clean. Banyak koperasi belum bisa memenuhi syarat itu,” ujar Lita.
Saat ini, terdapat sekitar 14 pabrik sawit di Kabupaten Berau. Jumlah itu masih jauh dari ideal, mengingat dalam perhitungannya satu pabrik seharusnya melayani sekitar 6.000 hektare lahan. Faktanya, satu pabrik di Berau melayani hingga 150.000 hektare.
Akibat minimnya pabrik, banyak petani dari Biatan dan Kelay memilih menjual TBS ke Kutai Timur (Kutim), yang memiliki sekitar 40 pabrik. Persaingan harga yang ketat di Kutim menjadi daya tarik tersendiri bagi petani, meskipun selisih harga hanya sekitar Rp 100 per kilogram.
“Makanya kami sangat mendorong investor membangun pabrik di Berau. Bukan hanya pabrik TBS, tapi juga pabrik pengolahan lanjutan seperti minyak goreng. Kota Bontang yang tak punya kebun saja bisa punya pabrik minyak goreng, masa kita tidak?” kata Lita.
Ia menambahkan, pengembangan industri sawit hilir memang menjadi wewenang Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag), sementara urusan perizinan berada di DPMPSP.
“Pemerintah daerah juga terus mempromosikan potensi investasi ini untuk mendorong tumbuhnya industri sawit yang lebih terintegrasi di Berau,” pungkasnya. (ril/dez)
Reporter: Aril Syahrulsyah
Editor: Dezwan