spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Harga Sawit Anjlok, Komisi II DPRD Berau Soroti Lambannya Penyesuaian Harga oleh Perusahaan

BERAU – Anggota Komisi II DPRD Berau, Sutami, menyoroti turunnya harga jual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di wilayah Berau sejak Maret lalu. Ia menyebut, selain harga yang tidak kompetitif, jauhnya lokasi pabrik pengolahan juga menjadi kendala utama yang dihadapi petani sawit.

Dalam rapat bersama Dinas Perkebunan dan hasil pantauan lapangan, Sutami mengungkapkan bahwa banyak petani sawit, khususnya di wilayah pesisir, lebih memilih menjual hasil panennya ke perusahaan di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), seperti BHL dan PTH, karena harga yang ditawarkan lebih tinggi.

“Memang dari laporan lapangan, mereka membeli dengan harga lebih tinggi. Karena itu, petani kita banyak yang menjual ke sana,” ujar Sutami.

Ia menyesalkan perusahaan sawit di Berau yang dinilainya lamban dalam menyesuaikan harga TBS berdasarkan ketetapan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Bahkan, menurutnya, penyesuaian harga dilakukan dengan cepat hanya ketika harga turun, sementara ketika harga naik justru terkesan ditahan.

“Kami minta Dinas Perkebunan tegas menegakkan aturan harga dari provinsi. Jangan sampai perusahaan di Berau seenaknya sendiri dan merugikan petani,” tegasnya.

Disparitas harga di beberapa wilayah pesisir, lanjut Sutami, bisa mencapai selisih Rp 300 hingga Rp 400 per kilogram. Hal ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga mengancam keberlangsungan industri perkebunan lokal dan pencapaian target produksi daerah.

Bahkan, Sutami mencurigai adanya pihak-pihak tertentu yang bermain dalam lambannya penyesuaian harga di tingkat perusahaan.

“Kami belum bisa pastikan apakah ada keterlibatan dari pihak dinas atau oknum perusahaan. Tapi ini harus diusut. Karena jika dibiarkan, petani yang akan terus dirugikan,” katanya.

Sebagai langkah lanjutan, Komisi II DPRD Berau berencana turun langsung ke lapangan dan memanggil sejumlah perusahaan untuk membahas solusi konkret dan memastikan harga TBS yang adil bagi para petani.

“Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Jangan biarkan mereka berjuang sendiri di tengah kondisi ekonomi yang berat seperti sekarang,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perkebunan Berau, Lita Handini, menjelaskan bahwa saat ini terdapat sekitar 14 pabrik sawit di Kabupaten Berau. Jumlah itu masih jauh dari ideal, sebab dalam perhitungannya satu pabrik idealnya melayani 6.000 hektare. Namun, kenyataannya satu pabrik di Berau harus melayani hingga 150.000 hektare.

Jumlah Pabrik di suatu daerah tentu akan mempengaruhi harga TBS Sawit di daerah. Semakin banyak pabrik di Kabupaten Berau dapat melahirkan harga yang bisa bersaing dan menguntungkan para petani.

Akibat minimnya jumlah pabrik, petani dari wilayah seperti Biatan dan Kelay pun lebih memilih menjual TBS ke Kutai Timur yang memiliki sekitar 40 pabrik dan menawarkan harga lebih bersaing, meskipun selisihnya hanya sekitar Rp 100 per kilogram.

“Makanya kami sangat mendorong investor membangun pabrik di Berau. Bukan hanya pabrik TBS, tapi juga pengolahan lanjutan seperti minyak goreng. Kota Bontang yang tidak punya kebun saja bisa punya pabrik minyak goreng, masa kita tidak?” ujar Lita.

Ia menambahkan, pengembangan industri hilir sawit menjadi kewenangan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag), sementara perizinan berada di bawah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPSP).

“Pemerintah daerah terus mempromosikan potensi investasi ini agar industri sawit di Berau bisa tumbuh lebih terintegrasi dan memberi nilai tambah bagi masyarakat,” tutupnya. (ril/dez)

Reporter: Aril Syahrulsyah
Editor: Dezwan

BERITA POPULER